Kebijakan Politik luar negeri Indonesia dari era Liberal
Politik Luar Negeri
Pada masa awal kemerdekaan, sasaran pokok politik luar negeri Republik Indonesia adalah “berjuang dalam gelanggang internasional” untuk memperoleh pengakuan sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat mungkin serta mengadakan perundingan-perundingan dengan sekutu dan Belanda. Kemudian, pada masa kabinet Sjahrir dalam kedudukannya sebagai menteri luar negeri kedua membangun unsur inti foreign service
Pada tanggal 17 Agustus 1945,
Namun, kedudukan
Pada tanggal 2 September 1948, wakil Presiden Mohammad Hatta mengemukakan pernyataan yang merupakan penjelasan pertama tentang politik luar negeri bebask aktif.
“Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu merdeka seluruhnya.”
Dalam uraian yang lebih lengkap, Mohammad Hatta memaparkan bahwa Pancasila merupakan salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik luar negeri Indonesia, oleh karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik mana pun yang berkuasa di Indonesia, tidak dapat menjalankan suatu politik Negara yang menyimpang dari Pancasila. Pancasila sebagai satu ideologi berbeda dari ideologi liberal yang di anut oleh barat, dan tidak sama dengan ideologi komunis yang dulu di anut oleh timur. Pancasila di satu pihak tidak dapat membenarkan konsepsi liberal yang lebih mengutamakan kepentingan perorangan daripada kepentingan kolektif dalam masyarakat. Di pihak lain tidak pula dapat menerima konsepsi komunis yang hanya mementingkan nilai kolektif dalam masyarakat manusia.
Dengan demikian jelaslah bahwa politik luar negeri
Politik Bebas Aktif
“Bebas” dan “aktif” adalah sifat politik luar negeri
Oleh karena belum adanya keseragaman, maka perlu ditekankan bahwa kata-kata ciri-ciri dan sifat dipahami secara terpisah. Ciri atau ciri-ciri khas biasanya disebut untuk sifat yang lebih permanen, sedangkan kata sifat memberi arti sifat biasa yang dapat berubah-ubah. Dengan demikian karena bebas dan aktif merupakan sifat yang melekat secara permanen pada batang tubuh politik bebas aktif, penulis menggolongkannya sebagai ciri-ciri politik bebas-aktif sedangkan Anti Kolonialisme dan Anti Imperialisme disebutnya sebagai sifat.
Makna Bebas Aktif
Perkataan bebas dapat diberi makna yang kurang baik, apabila dengan bebas dimaksudkan perbuatan yang sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab. Dalam penjelasan ciri-ciri politik luar negeri
Jadi, bebas dapat didefinisikan sebagai “berkebebasan politik untuk menentukan dan menyatakan pendapat sendiri terhadap tiap-tiap persoalan internasional sesuai dengan nilainya masing-masing tanpa apriori memihak kepada suatu blok”.
A.W Wijaya merumuskan: Bebas berarti tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh suatu politik negara asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau negara-negara adikuasa (super power). Aktif artinya dengan sumbangan realistis giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain. Sementara itu Mochtar Kusumaatmaja merumuskan bebas aktif sebagai berikut: Bebas dalam pengertian bahwa
B.A Urbani menguraikan pengertian bebas sebagai berikut : perkataan bebas dalam politik bebas aktif tersebut mengalir dari kalimat yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut : supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Jadi menurut pengertian ini, dapat diberi definisi sebagai “berkebebasan politik untuk menentukan dan menyatakan pendapat sendiri, terhadap tiap-tiap persoalan internasional sesuai dengan nilainya masing-masing tanpa apriori memihak kepada suatu blok”.
Politik bebas aktif sejak lahirnya sudah ditakdirkan aktif. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 aline pertama menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Kemudian dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat dicanangkan pula bahwa
Komentar